Wednesday, December 9, 2009

Jalan Menuju Qana’ah

K

ata qana’ah menurut Abu Abdullah Ibnu Kafif adalah meninggalkan keinginan terhadap apa yang telah hilang, atau apa yang tidak dimiliki, dan menghindari ketergantungan kepada apa yang dimiliki. Sementara Ibn Ali at-Tirmizi mengatakan, qana’ah adalah kepuasaan jiwa terhadap rezeki yang diberikan Allah. Intinya, orang yang qana’ah adalah orang yang kaya, namun walaupun dia jatuh miskin, dia akan bisa menerima kemiskinannya itu sebagai mana dia menerima kekayaannya. Jadi, tak perlu menggugat atas kemiskinan, dan congkak serta takabur atas kekayaan. Sesungguhnya semua cobaan dan ujian dari Allah.

Allah SWT berfirman mengenai sifat dasar manusia dalam surat Al Imran

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini oleh nafsu, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”.



Abdullah `Alawiy al haddad: “Pada pendapatku barangsiapa yang ingin wara` dan memelihara diri serta memilih hanya yang halal semata-mata, maka hendaklah ia bersifat qana`ah (memadai dengan apa yang ada) dari harta benda dunia, dan hendaklah cenderung kepada yang sedikit daripadanya, tidak israf (boros), tidak berlebih-lebihan dan terlampau mencintai syahwatnya” (ms. 301 Wasiat Iman).

Qana’ah itu mengandung lima perkara:
1. Menerima dengan rela akan apa yang ada.
2. Memohonkan kepada Allah tambahan yang bersesuaian, dan berusaha.
3. Menerima dengan sabar akan ketentuan Allah (taqdir Allah).
4. Bertawakal kepada Allah.
5. Tidak tertarik oleh tipu daya dunia

Qana’ah (rela dan menerima pemberian Allah subhanahu wata’ala apa adanya) adalah sesuatu yang sangat berat untuk dilakukan, kecuali bagi siapa yang diberikan taufik dan petunjuk serta dijaga oleh Allah dari keburukan jiwa, kebakhilan dan ketamakannya. Karena manusia diciptakan dalam keadaan memiliki rasa cinta terhadap kepemilikan harta. ... nak ikut kata sendiri, contohnya masalah Israk dan Mi`raj
Namun meskipun demikian kita dituntut untuk memerangi hawa nafsu supaya bisa menekan sifat tamak dan membimbingnya menuju sikap zuhud dan qana’ah. Berikut ini beberapa kunci menuju qana’ah yang jika kita laksanakan maka dengan izin Allah seseorang akan dapat merealisasikannya. Di antaranya yaitu:
1. Memperkuat Keimanan kepada Allah subhanahu wata’ala.
Juga membiasakan hati untuk menerima apa adanya dan merasa cukup terhadap pemberian Allah subhanahu wata’ala, karena hakikat kaya itu ada di dalam hati. Barangsiapa yang kaya hati maka dia mendapatkan nikmat kebahagiaan dan kerelaan meskipun dia tidak mendapatkan makan di hari itu.
Sebaliknya siapa yang hatinya fakir maka meskipun dia memilki dunia seisinya kecuali hanya satu dirham saja, maka dia memandang bahwa kekayaannya masih kurang sedirham, dan dia masih terus merasa miskin sebelum mendapatkan dirham itu.

2. Yaqin bahwa Rizki Telah Tertulis.
Seorang muslim yakin bahwa rizkinya sudah tertulis sejak dirinya berada di dalam kandungan ibunya. Sebagaimana di dalam hadits dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, disebutkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di antaranya, “Kemudian Allah mengutus kepadanya (janin) seorang malaikat lalu diperintahkan menulis empat kalimat (ketetapan), maka ditulislah rizkinya, ajalnya, amalnya, celaka dan bahagianya.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Seorang hamba hanya diperintahkan untuk berusaha dan bekerja dengan keyakinan bahwa Allah subhanahu wata’ala yang memberinya rizki dan bahwa rizkinya telah tertulis.

3. Memikirkan Ayat-ayat al-Qur’an yang Agung.
Terutama sekali ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah rizki dan bekerja (usaha). ‘Amir bin Abdi Qais pernah berkata, “Empat ayat di dalam Kitabullah apabila aku membacanya di sore hari maka aku tidak peduli atas apa yang terjadi padaku di sore itu, dan apabila aku membacanya di pagi hari maka aku tidak peduli dengan apa aku akan berpagi-pagi, (yaitu):

“Apa jua jenis rahmat yang dibukakan oleh Allah kepada manusia, maka tidak ada sesuatu pun yang dapat menahannya, dan apa jua yang ditahan oleh Allah maka tidak ada sesuatu pun yang dapat melepaskannya sesudah itu. Dan (ingatlah!) Dialah sahaja yang Maha Kuasa, lagi amat bijaksana (Fathir 35:2)



“Dan jika Allah menghendaki engkau beroleh sesuatu kebaikan, maka tiadalah sesiapa pun yang akan dapat menghalangi limpah kurnianya. Allah melimpahkan kurnianya itu kepada sesiapa yang dikehendakinya dari hamba-hambanya, dan Dialah yang amat pengampun lagi amat mengasihani.
(QS.Yunus 10:107)

“Dan tidak ada suatu pun dari makhluk-makhluk yang bergerak di bumi melainkan Allah jualah yang menanggung rezekinya( yakni semua makhluk adalah dijamin rezekinya oleh Allah Ta`ala. Dalam pada itu, kita disuruh berusaha dan berikhtiar, kerana langit tidak menghujankan emas dan perak), dan mengetahui tempat kediamannya dan tempat ia disimpan. Semuanya itu tersurat dalam kitab (Luh Mahfuz) yang nyata (kepada malaikat-malaikat yang berkenaan). (Hud 11: 6)



“(Orang yang kesempitan hendaklah ingat bahawa) Allah akan memberikan kesenangan sesudah berlakunya kesusahan.” (QS. ath-Thalaq 65:7)
4. Ketahui Hikmah Perbedaan Rizki
Di antara hikmah Allah subhanahu wata’ala menentu kan perbedaan rizki dan tingkatan seorang hamba dengan yang lainnya adalah supaya terjadi dinamika kehidupan manusia di muka bumi, saling tukar manfaat, tumbuh aktivitas perekonomian, serta agar antara satu dengan yang lainnya saling memberi kan pelayanan dan jasa.

Allah subhanahu wata’ala berfirman,


“(Mengapa pemberian kami itu mereka ingkarkan?) adakah mereka berkuasa membahagi-bahagikan (perkara kerohanian dan keagamaan yang ialah sebesar-besar) rahmat Tuhanmu. (Wahai Muhammad, kami hanya berkuasa dalam perkara-perkara dan keduniaan sahaja? Mereka tidak engkarkan) Kami membahagi-bahagikan antara mereka segala keperluan hidup mereka dalam kehidupan dunia ini (setengahnya Kami jadikan kaya raya dan setengahnya sesak menderita) juga Kami telah menjadikan darjat setengah mereka tertinggi dari darjat setengahnya yang lain (semuanya itu) supaya setengah mereka senang mendapat kemudahan menjalankan kehidupan daripada setengahnya yang lain dan lagi rahmat Tuhanmu (yang meliputi kebahagiaan dunia dan akhirat) adalah lebih baik dari semata-mata kebendaan dan keduniaan yang mereka kumpulkan.” (QS. az-Zukhruf 43:32)

“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS.Al an’am 6:165)
5. Banyak Memohon Qana’ah kepada Allah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling qana’ah, ridha dengan apa yang ada dan paling banyak zuhudnya. Beliau juga seorang yang paling kuat iman dan keyakinannya, namun demikian beliau masih meminta kepada Allah subhanahu wata’ala agar diberikan qana’ah, beliau berdoa,

“Ya Allah berikan aku sikap qana’ah terhadap apa yang Engkau rizkikan kepadaku, berkatilah pemberian itu dan gantilah segala yang luput (hilang) dariku dengan yang lebih baik.” (HR al-Hakim, beliau menshahihkannya, dan disetujui oleh adz-Dzahabi)
Dan karena hebat qana’ahnya, beliau tidak meminta kepada Allah subhanahu wata’ala kecuali sekedar cukup untuk kehidupan saja, dan meminta disedikitkan dalam dunia (harta) sebagaimana sabda beliau, “Ya Allah jadikan rizki keluarga Muhammad hanyalah keperluan pokok saja.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi)
6. Menyadari bahwa Rizki Tidak Diukur dengan Kepandaian
Kita harus menyadari bahwa rizki seseorang itu tidak tergantung kepada kecerdasan akal semata, kepada banyaknya aktivitas, keluasan ilmu, meskipun dalam sebagiannya itu merupakan sebab rezki, namun bukan ukuran secara pasti.

Kesadaran tentang hal ini akan menjadikan seseorang bersikap qana’ah, terutama ketika melihat orang yang lebih bodoh, pendidikannya lebih rendah dan tidak berpengalaman mendapatkan rezki lebih banyak daripada dirinya, sehingga tidak memunculkan sikap dengki dan iri.

7. Melihat ke Bawah dalam Hal Dunia
Dalam urusan dunia hendaklah kita melihat kepada orang yang lebih rendah, jangan melihat kepada yang lebih tinggi, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu dan janganlah melihat kepada orang yang lebih tinggi darimu. Yang demikian lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR.al-Bukhari dan Muslim)
Jika saat ini anda sedang sakit maka yakinlah bahwa selain anda masih ada lagi lebih parah sakitnya. Jika anda merasa fakir maka tentu di sana masih ada orang lain yang lebih fakir lagi, dan seterusnya. Jika anda melihat ada orang lain yang mendapatkan harta dan kedudukannya lebih dari anda, padahal dia tidak lebih pintar dan tidak lebih berilmu dibanding anda, maka mengapa anda tidak ingat bahwa anda telah mendapatkan sesuatu yang tidak dia dapatkan?

8. Membaca Kehidupan Salaf
Yakni melihat bagaimana keadaan mereka dalam menyikapi dunia, bagaimana kezuhudan mereka, qana’ah mereka terhadap yang mereka peroleh meskipun hanya sedikit. Di antara mereka ada yang memperolah harta yang melimpah, namun mereka justru memberikannya kepada yang lain dan yang lebih membutuhkan.

9. Menyedari Beratnya Tanggung Jawab Harta
Bahwa harta akan mengakibatkan keburukan dan bencana bagi pemilik nya jika dia tidak mendapatkannya dengan cara yang baik serta tidak membelanjakannya dalam hal yang baik pula.
Ketika seorang hamba ditanya tentang umur, badan, dan ilmunya maka hanya ditanya dengan satu pertanyaan yakni untuk apa, namun tentang harta maka dia dihisab dua kali, yakni dari mana memperoleh dan ke mana membelanjakannya. Hal ini menunjukkan beratnya hisab orang yang diberi amanat harta yang banyak sehingga dia harus dihisab lebih lama dibanding orang yang lebih sedikit hartanya...Lihat tujuh perkara ganjil:
Pemuda itu menyambung lagi, " Wahai tuan guru, golongan yang ketiga yang aku lihat, pada waktu siang mayatnya kelihatan seperti biasa sahaja. Apabila aku menggali kuburnya pada waktu malam, ku lihat perutnya terlalu gelembung, keluar pula ulat yang terlalu banyak daripada perutnya itu." " Mereka itulah golongan yang gemar memakan harta yang haram, wahai anak muda," balas ahli ibadah itu lagi.

10. Melihat kenyataan bahwa Orang Fakir dan Orang Kaya Tidak Jauh Berbeda.
Karena seorang yang kaya tidak mungkin memanfaatkan seluruh kekayaannya dalam satu waktu sekaligus. Kita perhatikan orang yang paling kaya di dunia ini, dia tidak makan kecuali sebanyak yang dimakan orang fakir, bahkan mungkin lebih banyak yang dimakan orang fakir. Tidak mungkin dia makan lima puluh piring sekaligus, meskipun dia mampu untuk membeli dengan hartanya. Andaikan dia memiliki seratus pasang baju maka dia hanya memakai sepasang saja, sama dengan yang dipakai orang fakir, dan harta selebihnya yang tidak dia manfaatkan maka itu relatif (nisbi).
Sungguh indah apa yang diucapkan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, “Para pemilik harta makan dan kami juga makan, mereka minum dan kami juga minum, mereka berpakaian kami juga berpakaian, mereka naik kenderaan dan kami pun naik kenderaan. Mereka memiliki kelebihan harta yang mereka lihat dan dilihat juga oleh selain mereka, lalu mereka menemui hisab atas harta itu sedang kita terbebas darinya.”
Sumber: “Al-Qana’ah, mafhumuha, manafi’uha, ath-thariq ilaiha,” hal 24-30, Ibrahim bin Muhammad al-Haqiil.

No comments:

Post a Comment