Wednesday, December 9, 2009

Qana’ah dalam Hidup

A

LQURAN, banyak sekali menjelaskan tentang manusia sangat mencintai harta. Misal, dalam surat Al Fajr ayat 15-20, Allah berfirman,




“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya, lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka ia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku.” Sebalik, Allah juga menguji dengan membatasi harta dan rezekinya, maka ia akan mengeluh, “Tuhanku menghinaku.” Padahal Allah tidak pernah menzalimi hamba-hamba-Nya. Sebab, yang menzalimi tidak lain adalah diri manusia itu sendiri. Setelah diberikan amanah, ternyata tidak menjalankannya dengan baik. Banyak dari amanah itu yang disalahgunakan, diselewengkan, dan diletakkan bukan pada tempatnya. Malah amanah hanya dijadikan “jalan” dan alat untuk melempangkan langkah seseorang dalam mengumpulkan harta kekayaan. Dalam pandangan Islam, manusia seperti ini dikatakan tidak qana’ah

Kata qana’ah menurut Abu Abdullah Ibnu Kafif adalah meninggalkan keinginan terhadap apa yang telah hilang, atau apa yang tidak dimiliki, dan menghindari ketergantungan kepada apa yang dimiliki. Sementara Ibn Ali at-Tirmizi mengatakan, qana’ah adalah kepuasaan jiwa terhadap rezeki yang diberikan Allah. Intinya, orang yang qana’ah adalah orang yang kaya, namun walaupun dia jatuh miskin, dia akan bisa menerima kemiskinannya itu sebagai mana dia menerima kekayaannya. Jadi, tak perlu menggugat atas kemiskinan, dan congkak serta takabur atas kekayaan. Sesungguhnya semua cobaan dan ujian dari Allah.

Kita sering melihat banyak orang yang tak pernah puas dengan kekayaannya. Padahal jika dihitung-hitung, harta yang sudah dimilikinya itu sudah sanggup menghidupi tujuh keturunan. Begitu pula orang yang sudah punya selusin toko, ingin menambah lagi dua lusin tempat usaha. Yang sudah punya sepeda motor, ingin mobil, yang sudah punya mobil mau pesawat pribadi dan seterusnya.

Sesungguhnya, harta kekayaan itu tidak pernah terpuaskan. Anehnya lagi, orang yang sudah kaya terkadang ada juga yang masih menganggap bahwa dirinya masih miskin. Sehingga dia tidak pernah lelah dalam mengejar harta. Hidupnya selalu dalam kecemasan karena takut target kekayaan tidak tercapai. Malam tidur tak nyenyak, dan selera makan menjadi hilang karena selalu memikirkan tentang harta. Sehingga berbagai cara dilakukan untuk memperoleh yang dicita-citakannya itu. Padahal Rasul bersabda, “Sikap puas dengan apa adanya, adalah harta kekayaan yang tak akan habisnya.”

Saban tahun, kita membaca deretan orang terkaya di dunia yang dirangking oleh Majalah Forbes dan The Economic misalnya. Namun tidak satu pun media yang mau mempublikasikan orang-orang termiskin di dunia. Karena memang orang tidak mau tahu dengan orang-orang yang hidupnya miskin. Orang-orang yang hidupnya terlunta-lunta, katanya hanya jadi beban Negara, sampah masyarakat. Padahal, mereka juga manusia; sama-sama ciptaan Allah. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Ma’idah: 2, “Bertolong-tolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu bertolong-tolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.”

Ingatan saya singgah pada wajah tanpa dosa seorang bocah bernama Siti Khoiyaroh. Gadis mungil berumur empat tahun ini, harus kehilangan nyawanya hanya karena keserakahan segelintir pejabat. Khoiyaroh meninggal secara tragius, setelah tubuh mungilnya terempas ke jalan, dan seluruh tubuhnya bermandikan kuah bakso yang tengah mendidih panas. Peristiwa memilukan tersebut berawal saat para petugas Satpol Pamong Praja Kota Surabaya, melakukan penertiban pasar di Kota Buaya itu pada 11 Mei 2009 lalu. Di sini, dengan kasat mata kita melihat, betapa tidak berkutiknya sebuah kemiskinan diperlakukan semena-mena oleh “tangan” Negara.

Kemiskinan dianggap sampah yang harus dibersihkan oleh Negara. Agar jalanan dan gedung-gedung tampak indah dipandang mata. Oleh para pelancong, oleh para calon investor. Mestinya, para pejabat, pengusaha, dan siapa pun yang katanya pembela orang-orang papa, mestinya dapat berhati lembut dalam menertibkan orang-orang seperti Sumariah dan Mat Naki, pasangan orangtua Khoiyaroh. Mereka hanya pedagang bakso yang hanya “mengambil” semeter lapakan tanah di pasar Wonokromo, Surabaya agar bisa bertahan hidup dengan berdagang bakso. Ini sangat kontras dengan perilaku para pejabat yang menyerobot miliaran rupiah uang rakyat, namun terkadang lepas dari jeratan hukum. Karena mereka punya banyak uang untuk menutupi mental korupnya.

Harta itu telah diingatkan oleh Allah, hanyalah perhiasan hidup di dunia. Betapa, kehidupan duniawi ini hanyalah permainan atau panggung sandiwara. Di sana ada gurau dan canda, ada sedih dan duka, dengan beragam karakter kehidupan. Pemerannya adalah kita semua. “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (Q.S, Al Kahfi: 46). Hal yang sama juga diingatkan Allah dalam QS. At-Taghabun: 15 dan Q.S, Al-Hadid: 20.

Semua ayat tersebut mengandung pengertian; bahwa harta kekayaan, kesenangan dan kesusahan, hanyalah sebuah ujian dan cobaan dari Allah swt. Jadi cobaan bukan saja ditimpakan oleh Allah pada orang yang hidupnya miskin, namun kepada orang yang banyak harta kekayaannya, juga sebenarnya Allah sedang mencobanya dengan kekayaannya itu. Apakah amanah berupa harta dan kekayaan yang ada pada dirinya, dapat membuat imannya lebih tebal lagi kepada Allah. Membuat dirinya ringan tangan dalam membantu sesama. Menyantuni orang-orang miskin. Atau malah justru sebaliknya, dengan harta kekayaannya itu, seseorang akan semakin sombong dan takabur. Seekor elang yang terbang tinggi, sepasang matanya yang tajam dan awas, selalu mengawasi ke bumi. Berharap ada anak-anak ayam yang bisa dimangsanya di tanah. Padahal, rimba raya hutan, telah disediakan Allah agar elang bisa mencari makan di sana. Namun sang elang selalu ingin rezeki yang lebih lezat.

Ah, betapa sifat riya dan takabur inilah yang akhirnya pula telah menguburkan kecongkakan seorang Karun. Al kisah, Karun ini adalah orang yang sangat kaya raya. Bahkan untuk mengangkut kunci-kunci gudang penyimpanan hartanya saja, Karun harus mengangkutnya dengan beberapa ekor unta, karena saking beratnya bandulan kunci-kunci gudang penyimpanan hartanya. Namun, karena sikap kesombongannya itu pula, akhirnya Karun dikutuk Allah. Dia bersama harta kekayaannya terkubur dalam tanah. Sehingga orang-orang zaman sekarang, terkadang masih ada juga yang mencari-cari harta si “Karun” ini, apakah yang tertanam jauh di atas bukit, di hutan-hutan, atau yang terpendam dalam di dasar lautan. Orang mengistilahkannya dengan harta Karun. Agaknya, sifat kerakusan seperti inilah yang saat ini sudah banyak menjangkiti manusia, sehingga jauh dari sifat qana’ah. Wallahu’alam bissawab.

Oleh Halim Mubary
26 June 2009, 08:22 Opini Administrator

* Penulis adalah dosen pada STAI Al-Aziziyah Samalanga, Bireuen

No comments:

Post a Comment